IJMA’ SEBAGAI YURISPRUDENSI HUKUM ISLAM DALAM PANDANGAN IMAM HANAFI DAN IMAM SYAFI’I
DOI:
https://doi.org/10.52166/jkhi.v7i1.11Abstrak
Perbincangan (discourse) tentang ijma‟ menjadi sangat signifikan dan urgen, sebab pada segmen-segmen hukum tertentu masih banyak hal yang belum tersentuh oleh teks-teks al-Qur‟an dan al-Hadits, sementara realita perkembangan budaya dan peradaban manusia semakin kompleks seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga semakin banya dijumpai wacana-wacana serta permasalahan baru yang secara ekplisit dasara hukumnya tidak terdapat dalam al-Qur‟an dan al-Hadits. Dari perspektif ini ijma‟ berada pada tempat yang signifikan, sangat menentukan untuk menetapkan sebuah kepastian hukum, lebih dari itu ijma‟ juga memainkan peran penting dalam perkembangan syari‟ah, dari pada itu ijma‟ memberi validitas final pada struktur Islam yang kokoh. Kehujjahan ijma‟ terkait dengan kepentingan hukum menurut dua imam madzhab, Imam Hanafi dan Imam Syafi‟i, bila dikaji secara mendalam dan ilmiah ternyata tetap sangat menarik, ibarat sumber air tidak pernah kering sekalipun telah terkuras dari waktu-kewaktu. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa ijma‟ merupakan hujjah qat‟iyah yang wajib diamalkan, jika dilihat dari segi cara terjadinya kesepakatan hukum syara‟, maka ijma‟ itu terbagi menjadi dua bentuk, yaitu ijma‟ sharih dan ijma‟ sukuti, menurut pendapat imam Hanafi antara ijma‟ sharih dan ijma‟ sukuti kedua-duanya layak dijadikan hujjah (argumentasi). Sedangkan menurut pendapat imam Syafi‟i tentang ijma‟ menyatakan bahwa, hanya ijma‟ sharih yang bisa digunakan sebagai dalil hukum, dan imam Syafi‟i menolak kehujjahan ijma‟ sukuti sebagai dalil hukum. Dalam pendapat kedua imam (Hanafi dan Syafi‟i) terdapat persama‟an pada kehujjahan ijma‟ sharih sebagai dalil hukum.
Unduhan
Unduhan
Diterbitkan
Cara Mengutip
Bagian
Lisensi
Hak Cipta (c) 2020 Rachmat Ihya'
Artikel ini berlisensiCreative Commons Attribution-ShareAlike 4.0 International License.